Monday, February 18, 2008

Wawancara dan Tes Psikologi (Psikotes)

Wawancara dan Tes Psikologi (Psikotes)


Berbohong saat tes wawancara bukan hanya tak berguna, tapi juga bisa membuat Anda tidak diterima. Lebih bijaksana bila pertanyaan dijawab apa adanya, spontan, langsung ke pokok persoalan, tidak mengada-ada, tidak menggurui, dan sopan.

"Padahal tinggal wawancara lo, kok gagal. Dulu juga begitu, selalu kandas di tahap ini". Keluhan macam itu banyak kita dengar dari mereka yang tak lolos dalam wawancara psikologi untuk melamar kerja. Sebuah kenyataan yang menyesakkan, apalagi kebanyakan tahapan wawancara berada diakhir proses seleksi. Lolos di sini berarti si calon diterima di tempat kerja yang baru.

Wawancara psikologi punya banyak makna. Ada beberapa versi, salah satunya, menurut Bingham dan Moore, wawancara adalah "... conversation directed to define purpose other than satisfaction in the conversation itself". Sedangkan menurut Weiner, "The term interview has a history of usage going back for centuries. It was used normally to designate a face to face meeting of individual for a formal conference on some point."

Dari kedua definisi itu didapatkan kondisi bahwa wawancara adalah pertemuan tatap muka, dengan menggunakan cara lisan, dan mempunyai tujuan tertentu.

Jangan dibayangkan wawancara itu sama dengan interogasi karena tujuan utamanya memang "berbeda", meskipun sedikit serupa dalam hal menggali dan mencocokkan data. Yang pasti, cara yang dipergunakan dalam kedua hal itu berlainan.

Interogasi lebih menekankan pada tercapainya tujuan, dengan berbagai cara dan akibat, baik secara halus maupun kasar. Posisi interogator lebih tinggi dan bebas daripada yang diinterogasi, serta lebih langsung.

Bandingkan dengan wawancara psikologi, di mana kedudukan antara pewawancara dan yang diwawancarai relatif setara. Kondisinya pun berbeda, karena tidak ada penekanan serta tidak menggunakan kekuasaan. Bahkan dalam kondisi ekstrem, seorang calon karyawan yang diwawancarai bisa saja tidak menjawab, pewawancara pun tidak akan memaksa. Namun, hal itu tentu akan sangat mempengaruhi penilaian dalam pengambilan keputusan seorang psikolog.

Cocok berbobot

Wawancara dalam tes psikologi (psikotes) sebenarnya satu paket dengan tes tertulisnya. Tes ini bertujuan mencari orang yang cocok dan pas, baik dari tingkat kecerdasan, serta sifat dan kepribadian. Istilah kerennya mendapatkan "the right man in the right place".

Dasar pemikiran lain kenapa perlu diadakan seleksi, yaitu adanya perbedaan potensi yang dimiliki setiap individu. Perbedaan itu akan menentukan pula perbedaan dalam pola pikir, tingkah laku, minat, serta pandangannya terhadap sesuatu. Kondisi itu juga akan berpengaruh terhadap hasil kerja. Bisa jadi suatu pekerjaan atau jabatan akan lebih berhasil bila dikerjakan oleh individu yang mempunyai bakat serta kemampuan seperti yang dituntut oleh persyaratan dari suatu pekerjaan atau jabatan itu sendiri.

Ada beberapa tujuan spesifik dari wawancara psikologi. Pertama, observasi. Dalam hal ini calon karyawan dilihat dan dinilai. Mulai dari penampilan, sikap, cara menjawab pertanyaan, postur - terutama untuk pekerjaan yang memang membutuhkannya, seperti tentara, polisi, satpam, dan pramugari. Penilaian juga menyangkut bobot jawaban dan kelancaran dalam menjawab.

Demikian pula perilaku dan sikap-sikap yang akan muncul secara spontan bila berada dalam situasi yang baru dan mungkin menegangkan. Misalnya, mata berkedip-kedip atau memutar jari-jemari yang dilakukan tanpa sadar.

Dalam hal bobot jawaban, misalnya, si calon bisa dinilai apakah ia memberikan jawaban yang dangkal atau tidak, atau malah berbelit-belit. Jawaban berupa "Ingin naik pesawat" atau "Ingin ke luar negeri" merupakan contoh jawaban yang dinilai dangkal atas pertanyaan alasan menjadi pramugari.

Sedangkan kelancaran dalam menjawab biasanya dinilai dari berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh seorang calon karyawan untuk menjawab pertanyaan.

Dalam wawancara psikologi yang diperlukan sebenarnya jawaban spontan dan tidak mengada-ada. Misalnya, apabila ditanya alamat, sebut saja alamat kita. Tidak usah ditambah-tambahi atau malah berlagak sok pintar.

Tujuan berikutnya dalam tes wawancara adalah menggali data yang tidak didapatkan dari tes tertulis. Misalnya, apakah istri bekerja, anak bersekolah di mana, masih tinggal bersama orangtua atau tidak, serta apa judul skripsi dan berapa nilai yang didapat.

Yang tidak kalah penting dalam mempengaruhi penilaian adalah kecocokan data. Benarkah data yang ditulis oleh sang calon?

Atas dasar itu seorang psikolog sering melontarkan pertanyaan untuk menilai tingkat pemahaman dan intelegensi si calon. Misalnya, calon mengaku berpendidikan S2, maka diajukan pertanyaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan itu. Bila jawabannya kurang bermutu, dapat saja diambil kesimpulan bahwa calon memiliki intelegensi yang kurang atau dianggap tidak serius selama menjalani proses pendidikan.

Sering juga terjadi hasil tes tulis bagus, tapi hasil wawancaranya kurang meyakinkan. Hal ini bisa terjadi karena mungkin ia telah beberapa kali mengikuti psikotes atau pernah mengikuti bimbingan psikotes. Tes ulang dapat menjadi alat untuk mengatasi keraguan itu.

Dalam konteks di atas, tidaklah mungkin seorang calon membohongi psikolog. Riskan pula bila dia tidak menjawab dengan sebenarnya. Terbuka sudah kepribadiannya yang tidak jujur, padahal kejujuran merupakan prasyarat penting untuk perusahaan.

Pada wawancara untuk evaluasi karyawan atau promosi jabatan biasanya data curiculum vitae (CV) dari instansi atau perusahaan sudah diberikan semua dari Bagian Personalia.

Manfaat lain wawancara adalah melengkapi data yang terlupakan atau tidak tertulis secara lengkap. Misalnya, sudah pernah mengalami psikotes atau belum. Kalau sudah, berapa kali? Untuk apa? Lulus atau tidak? Mungkin juga minat ataupun gaji yang diinginkan. Yang terakhir, manfaat wawancara yaitu untuk membuat keputusan.

Dari hasil pemeriksaan psikologi tertulis dan wawancara, dibuatlah kesimpulan, apakah calon ini memenuhi syarat seperti job description yang diberikan oleh perusahaan atau tidak.

Terkadang ada psikotes yang tidak menggunakan wawancara. Semua itu tergantung tujuan pemeriksaan, ketersediaan data yang mungkin sudah lengkap, serta tidak begitu mensyaratkan penampilan atau postur. Misalnya, bila yang diperlukan operator komputer, yang penting dia bisa komputer dan inteligensinya cukup.

Mengapa gagal?

Banyak calon karyawan gagal dalam psikotes, termasuk di dalamnya wawancara. Mengapa?

Sesungguhnya, hasil pemeriksaan psikologi bersifat rahasia, dalam arti tidak setiap orang dapat menerjemahkan dalam bahasa sehari-hari. Jadi, yang berhak adalah psikolog yang berkompeten.

Hal itu berbeda dengan tes kesehatan, di mana jenis kegagalan dapat disebutkan dengan jelas dan biasanya dapat pula dilihat. Sementara hasil psikotes masih merupakan data kasar berupa angka-angka sehingga perlu dijelaskan dalam bahasa awam oleh psikolog, untuk dijadikan data kualitatif.

Pada dasarnya psikotes bukan ujian. Psikotes tidak mengukur prestasi melainkan potensi dasar setiap individu. Dalam tes prestasi ada materi yang dapat dipelajari, misalnya bahasa Inggris. Bila seseorang mendapat nilai B dalam pelajaran itu, berarti penguasaan materi Bahasa Inggrisnya baik.

Sedangkan psikotes mengukur potensi dasar yang dimiliki tiap individu. Seseorang yang memang pada dasarnya cerdas, dites seperti apa pun tetap akan baik hasilnya. Asalkan dia serius pada saat mengerjakan dan tidak terganggu konsentrasinya sehingga dapat bekerja secara optimal.

Untuk mengurangi risiko gagal, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan. Yang pertama, penampilan fisik. Perhatikan dengan saksama apalagi bila profesi yang akan dimasuki mensyaratkan penampilan menarik - seperti pramugari, teller bank, atau sekretaris. Sedangkan tentara/polisi lebih menitik-beratkan pada postur ideal antara tinggi dan bobot badan, serta ada persyaratan minimal tinggi badan.

Perhatikan juga cara berpakaian, sebaiknya sesuaikan dengan situasi dan suasana. Misalnya, dalam wawancara untuk calon pramugari sebaiknya tidak mengenakan pakaian yang tidak selayaknya, seperti celana panjang berbahan jins. Atau menggunakan sepatu sandal, meskipun sedang mode.

Kerapian dan kesopanan berpakaian juga dipertimbangkan. Misalnya, tidak mengenakan kemeja yang lengan panjangnya dilipat, atau hanya mengenakan kaus, atau kemeja tidak dimasukkan.

Sikap pun memberikan nilai penting. Yang dimaksud dengan sikap ialah bagaimana si calon karyawan dapat menempatkan diri pada posisi yang tepat. Sebaiknya bersikap wajar saja, tidak dibuat-buat, tetapi juga tidak tegang atau gugup.

Selain itu, biasanya dinilai pula kesopanan yang sesuai dengan norma. Misalnya, tidak tampak menjilat, mengetuk pintu bila akan masuk ruangan, atau kalau belum dipersilakan duduk, ya, jangan duduk dulu. Dalam menjawab pertanyaan tidak bertele-tele, langsung pada inti masalah. Kemudian menjawab secara jujur, tidak perlu ditutup-tutupi. Misalnya, pernah tidak naik kelas atau pernah gagal pada tes di perusahaan lain.

Selain itu, dalam menjawab tidak usah menggurui, meskipun si calon sudah memiliki pendidikan yang cukup tinggi, pengalaman cukup banyak, atau dari segi usia lebih tua daripada si pewawancara.

Jangan pula menjawab dengan sombong, misalnya mengaku sebagai atlet yang sudah keliling ke banyak negara dan memiliki segudang prestasi. Bangga boleh-boleh saja, tetapi kalau hasil psikologi tertulisnya kurang baik, tetap saja tidak lulus.

Yang tidak kalah penting, tidak usah bertanya. Meski merasa optimistis dengan hasil tes tulis dan merasa bisa mengerjakan, calon tidak perlu bertanya mengenai hasilnya. Pada dasarnya wawancara adalah tes juga sehingga hal ini akan mempengaruhi penilaian. Selain itu, situasi yang dihadapi saat itu adalah situasi tes, bukan konsultasi psikologi. Pertimbangkan pula banyak calon lain yang menunggu.

Umumnya, untuk memperoleh informasi penting dari calon karyawan digunakan metode FACT, yaitu :

· F: Feeling. Tentang apa yang dirasakan oleh orang itu. Ditanyakan minatnya, gambaran pekerjaan, apakah juga sudah terbayang.

· A: Action. Mengenai tindakan-tindakan apa yang telah dilakukan.

· C: Condition. Kondisi/situasi/keadaan di mana kejadian itu berlangsung.

· T: Thinking. Mengenai apa yang dipikirkan atau yang diinginkan oleh orang pada saat itu.

Pemahaman yang lebih baik tentang wawancara psikologi akan membuat kita lebih mudah mempersiapkan diri menghadapi jenis wawancara ini. Yang pasti, wawancara psikologi tidak perlu ditakuti dan tidak bisa dibohongi.




Related Article:

0 comments:

Post a Comment

 
© Copyright by TIPS DUIT  |  Template by Blogspot tutorial